"Berkhayal lah seluas biru langit, berpikir lah sedalam biru laut, horizontal sama rata sama rasa. Buka jendelamu lalu pandanglah, buka pintumu ayo keluarlah, bebas lepas lepaskan kebebasan. Jangan takut keluarlah, hadapi dunia dengan menari" [Slank Dance].

Monday 8 November 2010

Masih Harap-harap Cemas

Dari hari Jum'at [5/11] sampai hari ini ternyata rencana pulang ke Jogja masih belum terealisasi, peringatan dari keluarga Jogja masih tetap sama, JANGAN PULANG DULU...!! dengan alasan kondisi yang masih semrawut. Kabar terakhir yang saya dengar mayoritas keluarga di sana bersama warga sedusun malah sudah mengungsi sampai Patuk, Gunung Kidul yang dikoordinasi oleh Pak Dukuh setempat, hanya ada beberapa warga yang tetap bertahan, termasuk 1 Pak Dhe saya yang masih tetap ngeyel bertahan menunggu rumah dan ternaknya. Ibu saya yang notabene adik kandung beliau pun sampai nggak sanggup untuk membujuk beliau agar turut mengungsi. Sebenarnya lokasi dusun masih dalam zona aman, tetapi entah karena ketakutan yang berlebihan atau trauma akan suara gemuruh Merapi, akhirnya banyak warga yang ikut mengungsi.

Sementara saya di Jember sini, cemas nggak karu-karuan mikir kondisi keluarga di Jogja, apalagi mikir Simbah Kakung saya yang sudah sepuh, gimana keadaannya di pengungsian ya? menangis
Saya di Jember hanya bisa memantau kondisi di Jogja melalui radio streaming di internet, yaitu komunikasi dari Handy Talky [HT] para petugas pemantau dan relawan yang bertugas di beberapa titik pos pemantauan, seperti di Balerante dan Manisrenggo Klaten, Babarsari, Turi, Prambanan, Kaliurang Yogyakarta. Biasanya dari website Jalin Merapi di http://merapi.combine.or.id inilah saya update informasi terkini mengenai keadaan Merapi. Walau terkadang informasi yang saya terima kurang jelas, karena masih ada jammer [pengganggu komunikasi] yang membuat jalur komunikasi di frekuensi 149.070 MHz berjalan kurang lancar.

Menilik lagu dari Ebiet G. Ade yang berjudul 'Untuk Kita Renungkan', ada salah satu liriknya yang berbunyi '...dalam kekalutan masih banyak tangan yang tega berbuat nista...'
, kiranya lagu tersebut memang ada benarnya. Karena kenyataan di lapangan, saat orang pada susah dan bingung karena bencara Merapi, eh... masih ada aja maling-maling berkeliaran menjarah isi rumah-rumah kosong yang ditinggal mengungsi penghuninya. Naudzubilah... kok ya tega, sudah nggak punya otak dan hati nurani orang model kaya' gitu.

Ada lagi orang-orang yang memanfaatkan keadaan ini untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya yang ditujukan untuk kepentingan pribadi. Seperti berpura-pura sebagai relawan dan meminta sumbangan yang akhirnya sumbangan itu untuk dirinya sendiri alias tidak di distribusikan buat korban bencana. Ada lagi toko yang menaikkan harga barang-barang yang dijualnya hingga dua kali lipat. Ah... benar-benar hilang hati nurani mereka.

Belum lagi adanya ganggung [jamming] komunikasi petugas pemantau dan relawan oleh orang-orang [jammer] yang nggak bertanggung jawab. Untuk masalah ini, saya sebenarnya juga kurang paham betul, gangguan komunikasi dirusak oleh jammer secara sengaja atau karena ketidak tahuan orang untuk tidak mengganggu frekuensi komunikasi para petugas. Padahal petugas pemantau berkali-kali mengingatkan, agar orang-orang yang memiliki HT dan tidak berkepentingan agar seyogyanya untuk turun dari frekuensi 149.070 MHz, agar tidak mengganggu komunikasi para petugas pemantau dan relawan. Isu yang beredar di antara pemantau dan relawan, konon penyebab meninggalnya beberapa relawan dikarenakan komunikasi yang kurang lancar, akibat adanya jamming sedih.

Kalo' menurut orang pinter yang katanya berkompeten di bidangnya, dalam hal ini Yang Terhormat Bapak Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia, kurang lancarnya komunikasi radio tersebut dikarenakan terlalu banyaknya orang yang mengakses frekuensi 149.070 MHz untuk mengetahui informasi terkini dari Merapi, hingga akhirnya terjadi tumpang tindih dalam komunikasi dan akhirnya arus komunikasi menjadi tidak lancar, jadi penyebab kurang lancarnya komunikasi bukan karena jammer, begitu katanya. Akan tetapi kalo' memang ada jammer yang mengganggu arus komunikasi, Bapak Menteri menghimbau agar lokasinya segera dicari dan ditangkap. Jammer ini akan dikenakan sanksi pidana hingga Rp. 600 juta [hayoo... modiar ora kowe...!!].

Menurut saya pribadi yang tiap online di internet selalu standby mengikuti komunikasi radio streaming ini, kurang lancarnya komunikasi bisa saja memang karena overload penggunanya, akan tetapi tidak menutup kemungkinan karena memang diganggu oleh jammer, karena terkadang ada saja orang yang ikut nimbrung bicara nggak jelas, malah kadang ada anak kecil yang ikut-ikut berbicara [mbuh, sakjane iki anake menungsa apa anake setan]. Parahnya lagi sampai ada yang nimbrung muter lagu nggak penting segala. Parah...!! Lebih parahnya lagi ulah para jammer [kalo' memang itu dilakukan oleh jammer] itu sepertinya tidak segera diatasi. Andai hal ini segera diatasi. Kerahkan aparat, kalo' perlu Densus 88 untuk melacak dan menangkap keberadaan jammer, karena tindakannya sudah meresahkan dan mengganggu komunikasi petugas pemantau dan relawan. Hal ini tidak ada bedanya dengan teroris, menurut saya.

Di sini hanya bisa berharap dan berdoa semoga bencana segera usai. Semoga Jogja dan wilayah sekitarnya bisa kembali normal. Dan semoga orang-orang yang moral dan hati nuraninya sudah rusak bisa mendapat hidayah dari Allah Sang Penguasa Alam. Amin.

share on facebook

0 Komentar:

Post a Comment